Jangan pernah meremehkan pos pelayanan terpadu. Dari posyandu inilah ketangguhan bangsa ke depan ditentukan. Husniar, bidan Puskesmas Gunung Medan, Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, memberi bukti nyata bahwa dari posyandu watak bangsa bisa dipupuk, didiagnosis, dipantau kesehatannya, dan diobati jika sakit.
Ia tak hanya mengampanyekan pentingnya kesehatan, tetapi bersama-sama rekan seprofesi dan warga menyiapkan sistem yang berkelanjutan. Programnya melawan hambatan kultural berupa hidupnya mitos-mitos yang negatif di masyarakat.
”Banyak mitos di masyarakat menghambat tercapainya kesehatan masyarakat yang baik. Misalnya, enggak boleh makan ikan, padahal mereka hidup di tepi Sungai Batanghari,” katanya.
Ibu-ibu yang baru melahirkan juga dilarang membawa anaknya keluar rumah sebelum anaknya berusia tiga bulan. ”Akhirnya, imunisasi dasar untuk bayi jadi susah,” ujarnya.
Selain itu, ibu hamil dilarang keluar rumah, anak-anak juga tidak boleh main pada siang hari. ”Mitos-mitos ini membuat kunjungan ibu hamil dan balita ke posyandu menjadi rendah,” jelas Husniar.
Merangkak dari bawah sebagai pembantu bidan, Husniar sejak 1979 sudah mengenal betul problematik kesehatan ibu dan anak di daerahnya. Ia sadar akan perannya ”Di daerah yang terpencil bidan, selain sebagai penyuluh, jadi panutan.”
Bhakti Bidan
Di tengah masyarakat yang pendidikannya rendah, pengetahuan masyarakat soal kesehatan juga lemah. ”Kita bertugas mendampingi daerah binaan atau wilayah kerja,” katanya.
”Saya terlibat dalam program Bhakti Bidan untuk mencapai tujuan pendampingan itu,” kata Husniar. Bhakti Bidan adalah program kerja sama PT Sari Husada dengan Ikatan Bidan Indonesia. Program ini memberikan dana untuk proposal terpilih.
Target utama Husniar meningkatkan kesehatan ibu dan anak yang sekaligus menekan angka kematian ibu dan anak. Programnya tidak muluk-muluk. ”Kami memberi pendampingan dengan langsung berkunjung ke rumah-rumah,” tutur Husniar.
Jadi pendekatan terhadap tokoh masyarakat, tokoh agama, kader desa, kader posyandu, dan kelompok dasawisma pun dilakukan untuk mengikis mitos sedikit demi sedikit. Lewat program puskesmas, kader-kader desa juga dibina.
”Kami juga aktif minta informasi kepada para tokoh dan kader, misalnya kalau ada ibu hamil, ibu melahirkan, dan balita yang perlu perhatian lebih,” katanya. Dengan cara itu, ibu hamil risiko tinggi, anak kurang gizi, dan keluarga tak mampu akan terdeteksi lebih awal.
Program yang selaras dengan Jorong Siaga itu juga menyosialisasikan kartu jaminan kesehatan, baik dari pemerintah pusat maupun daerah, dan juga kartu asuransi kesehatan keluarga miskin.
Jorong Siaga
Husniar menjadi bidan pembina lapangan di Jorong Siguntur, Kecamatan Sitiung, yang memiliki 400 keluarga, sejak 2006. Jorong ini setingkat desa jika di Jawa. ”Pertama kali ke sana saya melihat posyandunya sepi,” katanya.
”Kami harus buka pintu sendiri, membersihkan posyandu sendiri, seolah-olah posyandu punya kami saja,” katanya. Segala upaya dilakukan untuk sosialisasi pentingnya posyandu.
”Sekarang kalau saya pergi ke Posyandu Jorong Siguntur, 100 persen masyarakat sudah mau datang,” katanya.
Husniar juga membantu program bidan desa di sana. Selain punya satu bidan desa, Jorong Siguntur juga punya pusat kesehatan nagari. Tak hanya itu, Jorong Siguntur juga punya empat ambulans desa yang siaga.
Ambulans desa ini bukan seperti ambulans umumnya. ”Ini mobil milik warga yang ditunjuk dan pemiliknya setuju menjadikan mobilnya siap siaga untuk fungsi ambulans,” paparnya.
Tak hanya ambulans, di desa itu juga diperkenalkan tabulin atau tabungan ibu bersalin. Filosofinya sederhana, menyiapkan ibu hamil secara mental dan material agar siap segalanya jika tiba waktunya melahirkan.
”Kalau ada ibu hamil memeriksakan diri, kami minta mulai menabung di kader desa yang ditunjuk. Jadi ketika melahirkan, sudah terkumpul tabungan yang cukup,” kata Husniar.
Jorong Siaga juga mendata calon pendonor darah. ”Jika dibutuhkan, tinggal dijemput,” katanya.
Tiap rumah yang ada ibu hamilnya juga diberi stiker berisi informasi penting. Informasi itu meliputi dengan bidan siapa ibu hamil itu akan melahirkan, siapa yang akan mendampingi nantinya, menggunakan mobil ambulans siapa, siapa yang menanggung dananya, dan siapa donornya jika dibutuhkan.
Dengan pendampingan dari rumah ke rumah, kader-kader desa, mobil ambulans, tabulin, dan donor siaga, praktis segala kemungkinan yang terjadi bisa diantisipasi. Sistem itu terbukti ampuh meningkatkan mutu kesehatan ibu dan anak, sekaligus menekan angka kematian ibu dan anak.
Angka kematian ibu tahun 2007 mencapai 8 orang, tahun 2008 ada 2 orang, dan tahun 2009 nihil. Angka kematian bayi tahun 2007 mencapai 5 bayi, tahun 2008 ada 6 bayi, dan 2009 nihil. Ibu hamil kurang gizi mencapai 5 orang tahun 2007, 2008 sebanyak 6 orang, dan 2009 nihil.
Ibu hamil risiko tinggi tahun 2007 ada 12 orang, tahun 2008 10 orang, dan 2009 turun jadi 2 orang. ”Kunjungan balita ke posyandu meningkat drastis dari 40 persen pada 2007 menjadi 100 persen tahun 2009.”
”Angkanya jadi 100 persen tahun ini karena kalau tak datang ke posyandu, mereka akan kami jemput,” lanjut Husniar, yang masih kuliah di D-4 kebidanan ini.
Jika mendapat kepercayaan, dan modal, ternyata masyarakat madani kita bisa mengonsolidasikan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Dari program Bhakti Desa ini, Husniar mendapat penghargaan Terbaik I Srikandi Award 2009 Kategori ”MDGs 5” untuk meningkatkan kesehatan ibu, menyisihkan sekitar 500 proposal dari bidan seluruh Indonesia.
sumber
http://www.dinkes.dharmasrayakab.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar