Beberapa waktu yang lalu ada seorang mantri desa dipidana 3 bulan hukuman penjara dari PN Tenggarong, Kalimantan Timur. Majelis hakim menyatakan sang mantri terbukti bersalah melanggar UU 36/2009 tentang Kesehatan yaitu tidak punya wewenang memberikan resep obat golongan G yang seharusnya hanya boleh diresepkan oleh dokter.
Hal ini jelas membuat trauma para mantri dan bidan desa. Keterbatasan jumlah dokter di daerah pedalaman dan terkonsentrasinya dokter di perkotaan mengharuskan mantri dan bidan desa berperan sebagai dokter. Banyak tindakan medis yang seharusnya tidak boleh mereka lakukan secara hukum, namun mesti dilakoni demi menolong pasien.
Keberadaan dan wewenang mantri dan bidan desa yang setara dokter di pelosok pernah saya rasakan manfaatnya. Semasa kecil di desa, ketika sakit, mantrilah yang memberikan pelayan kesehatan. Bahkan saya disunat oleh mantri. Ketika saya bertugas sebagai dokter di salah satu kabupaten terpencil di Aceh dengan hanya 7 orang dokter dalam satu kabupaten, keberadaan dan peranan mantri dan bidan desa begitu terasa. Suatu hal yang mustahil 7 orang dokter umum bisa melayani 150 ribu warga. Tidak ada tenaga kesehatan yang bisa diharapkan kecuali para mantri dan bidan desa.
Ketika ada hukum yang membatasi wewenang mereka, hal ini menjadi dilema. Di satu sisi, tujuan hukum ini adalah untuk melindungi masyarakat dari tindakan medis yang tidak profesional dan bisa merugikan masyarakat. Namun disisi lain-karena jumlah dokter yang terbatas dan belum merata- masyarakat yang memerlukan pelayanan kesehatan hanya bisa dilayani oleh mantri atau bidan desa.
Saya kira hukum ini juga mesti melihat situasi dan kondisi masyarakat. Kalau di kota Jakarta dan sekitarnya, mungkin hukum ini bisa diterapkan. Namun di daerah terpencil, bila hukum ini berlaku, maka akan banyak masyarakat yang tidak bisa mendapat pelayanan medis. Mantri dan bidan desa tidak akan berani melakukan tindakan di luar wewenang profesinya. Mantri hanya bisa merawat pasien dan bidan desa hanya bisa memberikan pelayanan kebidanan dasar saja. Akibatnya masyarakat juga yang dirugikan.
Saya kira ada beberapa hal yang bisa dilakukan terkait dengan masalah ini agar masyarakat bisa memperoleh pelayanan medis yang layak : (1) Penyebaran dokter mesti merata dan depkes mewajibkan kembali PTT kepada semua dokter yang baru lulus. (2) Jumlah dokter di perbanyak (3) Keterampilan dan pengetahuan medis para mantri dan bidan desa terus ditingkatkan.(4)Mantri atau bidan desa yang ‘terpaksa’ berperan sebagai dokter di daerah terpencil harus dibawah supervisi seorang dokter.(5) Hukum yang dimaksud di atas dikecualikan untuk daerah terpencil.
Dalam kerapuhan hati.
Soerabaja, April 2010
Muhammad Jabir. Memenjarakan Mantri dan Bidan Desa. Diunduh tgl 30 april 2010; tersedia di http://kesehatan.kompasiana.com/2010/04/17/memenjarakan-mantri-dan-bidan-desa/
Hal ini jelas membuat trauma para mantri dan bidan desa. Keterbatasan jumlah dokter di daerah pedalaman dan terkonsentrasinya dokter di perkotaan mengharuskan mantri dan bidan desa berperan sebagai dokter. Banyak tindakan medis yang seharusnya tidak boleh mereka lakukan secara hukum, namun mesti dilakoni demi menolong pasien.
Keberadaan dan wewenang mantri dan bidan desa yang setara dokter di pelosok pernah saya rasakan manfaatnya. Semasa kecil di desa, ketika sakit, mantrilah yang memberikan pelayan kesehatan. Bahkan saya disunat oleh mantri. Ketika saya bertugas sebagai dokter di salah satu kabupaten terpencil di Aceh dengan hanya 7 orang dokter dalam satu kabupaten, keberadaan dan peranan mantri dan bidan desa begitu terasa. Suatu hal yang mustahil 7 orang dokter umum bisa melayani 150 ribu warga. Tidak ada tenaga kesehatan yang bisa diharapkan kecuali para mantri dan bidan desa.
Ketika ada hukum yang membatasi wewenang mereka, hal ini menjadi dilema. Di satu sisi, tujuan hukum ini adalah untuk melindungi masyarakat dari tindakan medis yang tidak profesional dan bisa merugikan masyarakat. Namun disisi lain-karena jumlah dokter yang terbatas dan belum merata- masyarakat yang memerlukan pelayanan kesehatan hanya bisa dilayani oleh mantri atau bidan desa.
Saya kira hukum ini juga mesti melihat situasi dan kondisi masyarakat. Kalau di kota Jakarta dan sekitarnya, mungkin hukum ini bisa diterapkan. Namun di daerah terpencil, bila hukum ini berlaku, maka akan banyak masyarakat yang tidak bisa mendapat pelayanan medis. Mantri dan bidan desa tidak akan berani melakukan tindakan di luar wewenang profesinya. Mantri hanya bisa merawat pasien dan bidan desa hanya bisa memberikan pelayanan kebidanan dasar saja. Akibatnya masyarakat juga yang dirugikan.
Saya kira ada beberapa hal yang bisa dilakukan terkait dengan masalah ini agar masyarakat bisa memperoleh pelayanan medis yang layak : (1) Penyebaran dokter mesti merata dan depkes mewajibkan kembali PTT kepada semua dokter yang baru lulus. (2) Jumlah dokter di perbanyak (3) Keterampilan dan pengetahuan medis para mantri dan bidan desa terus ditingkatkan.(4)Mantri atau bidan desa yang ‘terpaksa’ berperan sebagai dokter di daerah terpencil harus dibawah supervisi seorang dokter.(5) Hukum yang dimaksud di atas dikecualikan untuk daerah terpencil.
Dalam kerapuhan hati.
Soerabaja, April 2010
Muhammad Jabir. Memenjarakan Mantri dan Bidan Desa. Diunduh tgl 30 april 2010; tersedia di http://kesehatan.kompasiana.com/2010/04/17/memenjarakan-mantri-dan-bidan-desa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar